Seperti halnya kesehatan, ekonomi barangkali termasuk celah yang kerap digunakan kelompok antirokok untuk berkampanye. Mulai rokok yang konon hanya membuang-buang uang, membeli rokok sama dengan membakar uang secara sia-sia, hingga mengalokasikan uang rokok yang konon lebih baik untuk modal nikah. Padahal tidak sadar kalau pacar saja tak punya.
Tidak. Saya tidak menganggap persepsi model beginian salah. Tapi, yang begini ini rasanya akan lebih baik jika hidup di tengah hutan saja. Tak usah hidup dengan manusia lain. Hidup barang sekadar hanya untuk makan atau bertahan hidup. Ini lebih baik bagi mereka ketimbang terus uring-uringan bicara bahwa hidup hanya soal hal-hal yang menurutnya baik dan bermanfaat. Apalagi dengan sok-sok mengurusi ekonomi orang lain padahal menyisihkan uang buat mentraktir mantan saja tak pernah.
Bertemu orang model begini kadang saya tidak bisa menahan gemas. Mereka memang tidak merokok, tapi mulutnya bisa dengan mudah merapal dalil-dalil bahaya rokok dalam sudut pandang ekonomi. Seperti halnya kitab suci, sudut pandang ekonomi menurutnya menjadi sesuatu yang mutlak alias tidak mungkin salah.
Ia tidak ingat, ternyata beberapa minggu sebelumnya sempat mengikuti seminar antirokok. Dan mengatakan rokok dalam sudut pandang ekonomi seolah-seolah ia dapat melalui wahyu pagi tadi pas bangun tidur.
Bicara rokok melalui sudut pandang ekonomi dengan mereka ini memang sedikit ada benarnya. Iya, sedikit. Lha ya salahnya di mana? Masa menabung dibilang enggak baik. Apalagi menabung buat modal beli mobil. Itu sungguh tujuan yang sangat mulia dan tak ada dua.
Pertama, itu bisa menyenangkan orang tua. Kedua, tentu saja bisa mengambil hati calon mertua. Lengkap sudah.
Tapi, saya mau kasih saran, nanti mobilnya juga enggak usah dikasih knalpot. Kelompok antirokok ekonomis ini juga saya sarankan agar tak usah juga jalan-jalan ke mall buat nongkrong di restoran mahal. Enggak usah juga jalan-jalan ajak pacar ke gunung atau ke laut. Atau menonton di bioskop. Ini serius. Karena itu bagian dari hal yang tidak bermanfaat dan hanya membuat-buang duit. Bukankah lebih ekonomis makan di warteg daripada masuk restoran yang harganya jauh lebih mahal. Mengajak pacar jalan-jalan itu bagian dari pemborosan. Sungguh lebih baik uang itu digunakan untuk beli buku yang akan menambah ilmu pengetahuan. Atau untuk membeli hp baru juga bisalah.
Jika dalam hidup semuanya harus dihitung secara matematis dan untung rugi. Maka, apa sebenarnya pengertian matematis, untung rugi, atau yang kita anggap bermanfaat dalam hidup? Bukankah kita lebih senang ketika kita misalnya, sedang jalan-jalan sama pacar, dan melupakan kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk lulus, misalnya. Kita juga nyatanya lebih senang menonton film di bioskop ketimbang membantu teman-teman kita yang belum makan dua hari. Kita juga lebih sering bilang maaf daripada harus menyerahkan uang 10 ribu di kantong untuk orang yang tidak kita kenal.
Lalu, apa sebenarnya hal yang sia-sia dalam hidup itu? Hal-hal yang membuang-buat waktu, tidak berguna, atau tidak menghasilkan? Sementara kita merasa lebih bahagia melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan tanggung jawab atau urusan pekerjaan.
Padahal dalam hidup, ada beberapa hal yang tidak bisa terus dilihat secara matematis. Ini berhubungan dengan nilai. Etika. Maka, tidak bisa dihitung untung rugi. Walaupun negara ini diisi pejabat yang sering makan uang rakyat, kita tetap harus cinta pada Indonesia. Kita tetap harus hormat pada Sang Saka Merah Putih. Atau, berbuat baik; menolong teman, mentraktir pacar atau mantan. Itu juga berhubungan dengan nilai. Karena jika dihitung, uang atau harta yang kita keluarkan pada mereka jelas saja berkurang (terlepas dari apa yang kita dapat setelah itu). Atau mungkin salat, itu juga termasuk etika. Tentu etika makhluk pada Tuhannya.
Begitu pula soal rokok. Tak selamanya ia dihitung dalam sudut pandang angka atau untung rugi. Mereka yang bukan perokok tentu tak tahu seberapa penting rokok, misalnya bagi Pram dulu. Hingga karyanya juga bisa dinikmat oleh mereka yang bukan perokok. Tentu yang bukan perokok juga tak tahu seberapa penting rokok bagi tradisi masyarakat lokal. Acara adat. Kenduri. Upacara. Sekali lagi, itu tak bisa dihitung melalui kacamata untung rugi, apalagi salah benar. Tidak.
Barangkali benar, pada kaum antirokok inilah kita akan mudah melihat model manusia yang selangkah lagi akan diangkat menjadi rasul. Ia bisa dengan tiba-tiba memberi nasihat dan wejangan. Meski tidak sampai memberi uang atau mentraktir makan. Baginya, rokok seolah aktivitas yang salah untuk dilakukan. Ia bicara bahaya rokok dari berbagai sudut pandang, mulai agama, kesehatan, sosial, kesehatan, hingga ekonomi. Dan orang lain, di luar mereka harus mengamininya.