Ketika kesalahpahaman yang berangkat dari simplifikasi terbentuk, maka masyarakat menjadi parsial dalam melihat sebuah permasalahan. Seperti tercermin melalui gerakan antitembakau yang kerap mengesampingkan realitas ekonomi, sosial, dan budaya. Di sinilah kepentingan sebuah golongan tertentu dapat berjalan dengan mulus dan pada akhirnya menghegemoni masyarakat.
Kepentingan politik Indonesia tercermin dari masyarakat yang berbudaya berdasarkan nilai luhur nusantara. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan tidak tunduk pada kepentingan global yang menghambat kemajuan negara.
Dari kasus kampanye antitembakau yang bersifat global ini, Indonesia dipaksa untuk melepaskan komoditas pertanian berharganya yakni tembakau dan cengkeh melalui tekanan untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Dalam era globalisasi, dunia terhubung layaknya jaring laba-laba, negara dunia ketiga seperti Indonesia akan sulit berdiplomasi ketika kepentingan nasionalnya dianggap semata-mata mengancam kepentingan global. Apalagi jika disandingkan dengan Tiongkok yang merupakan penghasil tembakau dan rokok terbesar nomor satu di dunia, dinyatakan sudah meratifikasi FCTC. Tentu saja, Indonesia pun dituntut untuk mengikuti langkah tersebut.
Ini adalah contoh tekanan politik yang sangat tidak mencerminkan asas persamaan derajat dalam diplomasi antar negara. Tembakau dan rokok yang dihasilkan Tiongkok dapat memenuhi ‘standardisasi’ FCTC karena varietas tembakaunya berbeda dengan yang ada di Indonesia. Tiongkok pun tidak sepenuhnya mengandalkan industri tembakau sebagai penopang ekonomi, karena masih bisa ditopang industri manufaktur.
Sementara, Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam berlimpah mengandalkan sektor pertanian dan UMKM untuk menopang perekonomian negara. Paksaan kepada pemerintah untuk tunduk pada kepentingan global ini merupakan gejala hilangnya kedaulatan politik sebuah bangsa merdeka.
Ekonomi
Terkait dengan kepentingan ekonomi nasional, komoditas pertanian tembakau dan cengkeh terbukti masih berkontribusi besar bagi negara. Tercatat pada 2013, industri kretek menampung tenaga kerja sebanyak 304.679, kemudian menyumbang cukai sejumlah Rp139,5 triliun pada 2015, dan berperan pula sebagai representasi realitas sosial masyarakat Indonesia.
Akan berbeda cerita ketika komoditas tembakau, cengkeh, serta kretek sudah tidak menjanjikan lagi dari segi perekonomian negara. Sementara konteks hari ini, negara membutuhkan pundi-pundi APBN sebanyak mungkin untuk melakukan pembangunan baik infrastruktur maupun peningkatan kualitas SDM itu sendiri. Tidak hanya itu, masih banyak petani yang menggantungkan hidup kepada tanaman tembakau dan cengkeh. Jadi, dapat dikatakan bahwa sektor ini masih menguntungkan dan berperan penting baik bagi negara maupun masyarakat.
Kretek sebagai komoditas ekonomi pun akan hilang ketika FCTC diberlakukan dan ‘standardisasi’ sepihak diterapkan. Karena faktor geografis, Indonesia menghasilkan varietas tembakaunya sendiri yang berbeda dengan Tiongkok. Varietas ini pun memiliki kandungan tar dan nikotin yang lebih tinggi, dan menghadirkan cita rasa berbeda dari tembakau umumnya.
Apabila FCTC diterapkan, pemerintah akan dipaksa untuk mengimpor tembakau Tiongkok dan komoditas kretek akan hilang digantikan oleh produk sigaret putih mesin (SPM) milik perusahaan multinasional asing. Terbukti pada tahun 2009, Philip Morris International mengakuisisi penuh saham PT. HM Sampoerna yang kala itu produsen kretek terbesar di Indonesia. Terlihat jelas kepentingan ekonomi bermain di sini, ketika ‘standardisasi’ diberlakukan, perusahaan multinasional sudah bersiap dengan produk rokok putihnya.
Pertanian tembakau dan cengkeh pun terancam karena bahan baku yang mereka hasilkan tidak akan terserap dan gerakan anti tembakau tidak memiliki langkah konkret untuk bertanggungjawab menggantikan komoditas pertanian yang akan hilang itu.
Budaya
Tidak hanya politik dan ekonomi, dampak yang dirasakan pun akan menyentuh sektor kebudayaan. Kretek sebagai entitas budaya akan hilang karena kalah bersaing dengan rokok putih. Masyarakat yang menelan mentah-mentah diskursus antitembakau ini pun sudah tergerus kepribadiannya sebagai seorang individu merdeka.
Budaya toleransi hilang ketika kebencian dan diskriminasi ditebarkan oleh kelompok antitembakau dengan menghakimi sepihak para perokok dan pekerja terkait komoditas tembakau lainnya. Hal ini dengan mudah kita rasakan ketika orang lebih senang menyindir dan memandang sinis perokok. Hasilnya, tertutuplah ruang dialektika karena manusia abai akan realitas sosial yang ada.
Pertanyaan penting berikutnya hanya dapat dijawab oleh pribadi masing-masing. Apakah saya dengan mudahnya mengamini diskurus antitembakau tanpa coba mencari tahu konteks Indonesia? Apabila kita merasa dan menjawab ‘ya’, maka diskursus anti tembakau telah berjalan dengan sangat baik hingga kita pun terhegemoni olehnya.
Pada titik ini, kita sedang tidak diperlakukan sebagai manusia. Bahwa gerakan antitembakau dengan dalih-dalihnya telah memaksakan kehendaknya dengan mengonstruksi pikiran kita secara paksa. Ada pemaknaan sempit akan kesehatan, lingkungan, dan pembangunan dengan mengesampingkan realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia