Beberapa waktu ini saya sedang kesal terhadap orang-orang yang mendaku dirinya ulama yang menyampaikan pernyataan atau fatwa bahwa rokok itu haram. Pernyataan itu terus-menerus disebarkan di jejaring sosial dan masif. Saya pribadi sangat menyayangkan fatwa itu keluar dari tokoh yang dikagumi pengikutnya itu. Rokok seakan menjadi barang najis dan perokoknya dianggap telah berdosa.
Di satu sisi kadang saya ingin bertanya, kalau rokok haram karena mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya, dengan istinbat (ketetapan hukum islam) semacam itu, kenapa mereka tidak mengharamkan produk konsumsi lain, sebut saja junk food, memangnya tidak memiliki faktor risiko terhadap kesehatan gitu?
Kenapa kecap, saus, atau apapun yang biasa dikonsumsi orang banyak juga tidak diharamkan. Bahan pengawet yang ada pada produk tersebut, memangnya tidak berpotensi menyebabkan kanker, kolesterol, diabetes, dan risiko kesehatan lainnya yang dapat membunuh konsumen.
Jika rokok itu diharamkan dengan istinbat hukum qiyas (mengukur sesuatu dengan lainya dan menyamakan) daripada manfaat dan mudaratnya, maka dengan istinbat semacam itu menabung di bank lebih juga pantas dan lebih layak diharamkan karena mengandung unsur riba. Sedangkan kita tahu kalau merujuk dalam al Quran dan Hadis hukumnya haram. Bahkan dalam kitab Bulughul Maram pada Bab Riba menyebutkan siapapun yang membantu terjadinya riba, maka dia berdosa.
Yang tidak habis pikir, mengapa justru rokok yang dinyatakan haram? Apa karena para ulama itu masih mengonsumsi junk food dan masih bertransaksi melalui jasa perbankan, sehingga menabung di bank lantas hukumnya jadi makruh atau bahkan mubah (boleh). Maka tidak selayaknya rokok yang ketetapan hukumnya masih menggunakan metode qiyas menanggung hukum haram.
Saya masih yakin ulama itu adalah orang-orang yang memandang umat ini dengan pandangan kasih sayang. Pandangan yang menimbang suatu hukum agama dengan kebijakan, dan mencari solusi dengan menetapkan hukum yang paling ringan bagi sebuah perkara dan bukan menetapkan hukum yang berat kepada pengikutnya.
Iya maaf, jika kami tidak menyepakati apa yang sebagaian ulama haramkan itu. Bukan apa-apa, jika aktifitas merokok melulu dipandang dari sisi hitam-putih belaka, iya sama saja menyempitkan andil kemahaluasan Sang Pencipta. Apalagi kami sering melihat banyak juga ulama tradisional yang sehari-hari masih setia mengisap rokok. Apakah mereka berdosa karena tidak mengikuti fatwa haram rokok?
Saya lebih bersepakat dengan apa yang ditulis Syeh Ihsan Jampes dalam kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan yang beberapa poinnya menyebutkan bahwa rokok itu tidak najis, atau tidak menghilangkan kesadaran. Rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok. Salah satu murid KH Kholil Bangkalan ini menyatakan bahwa menghisap dan mengonsumsi rokok hukumnya mubah. Hukum mubah ini adalah berlaku bagi orang yang tidak terganggu kesehatannya atau hilang ingatannya ketika merokok.
Hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya menfatwakan haram.
Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak pencurian, maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu divonis dengan hukum haram.
Jika merujuk pada Bahtsul Masail tentang hukum merokok pada 2009, saya sepakat pada poin yang menyatakan merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, patut dikatakan haram hukumnya.
Kalau sebagian ulama masih tetap mengharamkan rokok, kenapa asap kendaraan yang jelas-jelas banyak mudaratnya tidak difatwakan haram? Sekali lagi maaf, saya tidak respect dengan para ulama yang mengharamkan rokok. Tidak masalah bagi saya jika para ulama yang mengharamkan rokok itu masuk surga. Biarkan saya dan para ulama yang merokok tidak masuk surga karena menghisap rokok yang dianggap haram itu. Karena saya menulis ini bukan didadasari kebencian, tapi karena rasa sayang.
Bagi saya yang paling penting, perokok tidak boleh abai dengan orang lain. Sungguh naif bila ada perokok dengan bangganya menikmati kepulan demi kepulan sementara orang lain di dekatnya terbatuk-batuk. Sangat tidak manusiawi bila di angkutan umum masih ada yang tega merokok. Dan amat tercela bila ada orang yang merokok di dalam masjid, terlebih lagi di dekat anak kecil.