“APAKAH KELEMAHAN KITA: KELEMAHAN KITA IALAH, KITA KURANG PERCAYA DIRI KITA SEBAGAI BANGSA, SEHINGGA KITA MENJADI BANGSA PENJIPLAK LUAR NEGERI, KURANG MEMPERCAYAI SATU SAMA LAIN, PADAHAL KITA INI ASALNYA ADALAH RAKYAT GOTONG ROYONG” (PIDATO HUT PROKLAMASI, 1966 BUNG KARNO)
Bangsa ini bukan lagi akan menghadapi penjajah dengan mengangkat senjata. Sudah tidak ada lagi konfrontasi pada fisik zaman ini. Namun, penjajahan akan terus berlangsung. Mereka menjajah dengan halus dan tidak kelihatan. Pernyataan kritis dan visioner didengungkan oleh Bung Karno pada masa-masa awal kemerdekaan Bangsa Indonesia, “Nekolim” beliau menyebutnya. Sebuah bentuk penjajahan gaya baru, dan hingga saat ini saripatinya menjadi metode negara-negara maju menjajah kedaulatan ekonomi negara-negara dunia ke-3.
Tembakau dan produk olahannya adalah salah satu komoditas yang memberikan keuntungan cukup besar dari sektor industri, perdagangan dan keuangan. FAO (Food and Agriculture Organization), pada memproyeksikan pada tahun 2012, bisnis ini mencapai US $ 464, 4 miliar. Industri ini juga memiliki kecenderungan tumbuh secara konsisten. Pada tahun 2010, produksi, konsumsi dan perdagangan tembakau secara global mencapai 7,1 juta ton, meningkat dari 6,7 juta pada tahun 2000. Sebagai catatan penting, bisnis tembakau dan produk olahannya relatif tidak terkena dampak krisis keuangan global di tahun 2007 – 2008.
Bangsa Indonesia sudah sejak ratusan tahun lalu membudidayakan tembakau pada lahan-lahan pertaniannya. Pencapaian olah pikir Bangsa Indonesia terhadap tanaman ini, menemukan puncaknya ketika H. Djamhari dari Kudus mencampur dengan rempah endemik Nusantara, yaitu cengkeh. Dua komoditas yang dicampur menjadi satu ini sekarang kita kenal sebagai Kretek yang telah terbukti dan teruji mampu memberikan sumbangsih cukup besar bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Penemuan H. Djamhari tersebut, ditangkap oleh seorang usahawan bernama Nitisemito yang mengolah penemuan tersebut menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Nitisemito memberi lebel pada produk kretek produksinya dengan merek dagang “BAL TIGA” pada tahun 1908. Salah satu indikasi kemajuan Industri Kretek yang dikembangkan oleh Nitisemito pada waktu itu adalah mampu merekrut orang-orang Belanda menjadi akuntan. Meskipun Nitisemito dan BAL TIGA-nya sekarang sudah menjadi cerita masa lalu, namun apa yang telah dimulainya tersebut masih bisa kita lihat dan rasakan bahkan mampu mensejahterakan bangsa ini sekarang hingga nanti. Semoga.
Kini, seiring waktu berjalan apa yang telah dihasilkan oleh bangsa Indonesia sejak puluhan tahun lalu dan menjadi bagian kultural bagi sebagian besar penduduknya sedang menghadapi berbagai ancaman. Berbagai kepentingan ekonomi negara-negara adikuasa, berusaha menghancurkan aset Bangsa Indonesia ini. Apa yang telah dimulai oleh Nitisemito pada tahun 1906 itu kini telah berkembang menjadi bisnis yang mampu menopang kehidupan ekonomi berjuta-juta rakyat Indonesia. Tak kurang dari 30 juta orang yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan bisnis ini merasakan manfaatnya. Dengan pangsa pasar lebih dari 70 juta orang Kretek menjadi raja di negeri sendiri.
Di tengah keterpurukan kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia akibat berbagai tekanan internasional agar bangsa ini menyerahkan seluruh sumber daya alam secara cuma-cuma, industri kretek adalah satu-satunya industri yang mampu berdikari tanpa banyak bergantung dengan negara lain dan mampu merajai di pasar negeri sendiri. Bahan baku tembakau dan cengkeh dipenuhi oleh para petani yang tersebar di 21 provinsi dari Sabang sampai Merauke. H. Djamhari ataupun Nitisemito pun mungkin tidak membayangkan jika apa yang telah ditemukan dan dimulainya menjadi bisnis berskala besar yang mampu memberikan sumbangan cukai bagi negara Rp 64,8 triliun pada tahun 2011 dan menjadi bagian dari bisnis global bernilai miliaran dolar.
H. Djamhari pada saat menciptakan Kretek tidak mungkin membuat sesuatu yang bertujuan mencelakai orang-orang yang menkonsumsinya ataupun orang disekitarnya kelak di kemudian hari. Beliau juga tidak mengerti mengapa Kretek yang telah beliau ramu untuk menyembuhkan sakit asmanya kini ditentang dan dihujat secara internasional bahkan oleh otoritas kesehatan dunia. Sebab menurut penelitian mereka bahwa apa yang telah beliau temukan adalah pembunuh nomor satu di dunia. Ironis, ketika banyak anak negeri begitu saja mengamini pendapat tersebut tanpa mengolahnya terlebih dahulu dengan nalar lebih kritis. Padahal menurut berbagai literatur sejarah tembakau adalah tanaman yang mempunyai khasiat menyembuhkan bermacam penyakit.
Sengkarut pendapat internasional tentang tembakau akhirnya pada tahun 2003 terpolarisasi menjadi sebuah kerangka kerja internasional tentang pengendalian tembakau atau lebih dikenal dengan nama FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dan sejak 2007 berlaku efektif di 168 negara. Dalih kesehatan masyarakat dan perlindungan terhadap generasi muda dari paparan asap rokok menjadi tujuan dari perjanjian ini. Sampai suatu saat, terkuaklah gaya dari yang disebut sebagai Neo Kolinialisme dan Imperalisme oleh Bung Karno dulu. Sama seperti kedatangan penjajah, mereka datang dengan dalih berdagang. Kerajaan-kerajaan di Nusantara pun menyambut baik kedatangan mereka sebagai mitra dagang. Siapa sangka kemudian mereka memaksakan ingin menguasai kekayaan alam di seluruh Nusantara. Dengan segala cara yang tanpa melandaskan pada kebenaran dan kemanusiaan, mereka upayakan itu. Dalam waktu yang tidak lama hampir semua kerajaan-kerajaan Nusantara sudah tunduk di bawah kekuasaan bangsa penjajah.
Begitupun sekarang, seratus tahun lebih setelah Nitisemito membangun usaha produksi kretek. Dan para usahawan lainnya yang mengembangkan kretek mampu menjadi penopang perekonomian negeri ini. Sekarang, keterancaman mulai dirasakan lagi terhadap eksistensi produk tersebut. Apa yang dikatakan Bung Karno dan dalam pidato Peringatan Proklamasi Tahun 1966 pada kutipan pembuka tulisan ini adalah bukti bahwa bangsa kita terlalu kerdil. Tampak nyata dalam kita berinteraksi dalam pergaulan internasional. Jika kita tidak mengikuti aturan internasional dan tidak menerima bantuan sepertinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang dan terkucil dari pergaulan dunia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, “Dengan kita mengikuti seluruh pernak-pernik pergaulan internasional tersebut, tapi bangsa kita menjadi bangsa penjiplak dan tidak berkepribadian apakah ini yang membanggakan?” Mungkin ini menjadi pertanyaan bagi kita semua, seluruh komponen anak bangsa yang masih peduli dengan kedaulatan dan kepribadian bangsa ini.
Sebagai sebuah komoditi yang mempunyai nilai keekonomian sangat tinggi tembakau adalah salah satu komoditi andalan petani kita saat ini. Selain tembakau, cengkeh juga salah satu komoditi yang masih mampu menopang ekonomi bagi siapa saja yang mengusahakannya. Pabrik Kretek adalah penyerap tembakau dan cengkeh terbesar. Sementara itu dalam regulasi termutakhir yang akan dikeluarkan oleh pemerintah sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dalam salah satu pasalnya memuat ketentuan penggunaan produk hasil tembakau dan cengkeh tidak lagi untuk kretek. Meskipun pemerintah mengetahui bahwa secara faktual industri kretek adalah penyerap 98% lebih tembakau dan cengkeh rakyat. Bahkan industri kretek adalah penyerap 2/3 produksi cengkeh dunia. Untuk satu hal ini saja pembuat regulasi belum mempunyai jalan keluar yang dapat diterima semua pihak. Jadi bukan karena ketidakpahaman kami menolak pengesahan regulasi yang masih berupa Rancangan Peraturan Pemerintah ini.
Pihak pembuat regulasi selalu mendengungkan bahwa penolakan ini didasari atas ketidakpahaman atas isi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Kajian pasal demi pasal yang tercantum dalam naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut sudah kami lakukan dengan melibatkan mereka yang terlibat dan berkepentingan terhadap eksistensi kretek dan kedaulatan bangsa. Hasilnya sama, bahwa regulasi ini adalah regulasi dengan semangat mengeliminasi dan mengendalikan dengan ketat tata niaga dan kemampuan produksinya. Bukan lagi dengan semangat untuk mengendalikan perilaku konsumsi dan melindungi kesehatan masyarakat serta generasi muda dari paparan asap rokok sebagaimana yang di amanahkan dalam ketentuan UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dari norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut sudah cacat hukum, menimbulkan ketidakadilan. ketidakpastian hukum serta perlindungan hak konstitusional warga negara yang ingin terbebas dari akibat rokok, maupun yang ingin mengkonsumsi barang legal bernama kretek.
Kembali lagi kita harus menghayati apa yang disampaikan oleh Bung Karno dalam pidato beliau yang dikutip di awal tulisan ini. Kita harus percaya diri dan mampu mengatur diri kita sendiri tanpa harus tergantung atau meniru apa yang telah dilakukan oleh bangsa lain di dunia ini. Biarkanlah FCTC menjadi panduan bagi negara-negara yang tidak punya sejarah menjadikan tembakau menjadi sesuatu yang bermanfaat. Bangsa kita pernah diwarisi bagaimana cara mengolah tembakau supaya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Sudah selayaknya kita mengatur diri kita sendiri dengan peraturan yang pas bagi kita. Bukan berarti kita tidak mau menghormati otoritas kesehatan internasional, tapi mereka juga harus menghormati bangsa kita yang berdaulat. Bangsa ini mampu mengolah tembakau menjadi sesuatu yang bermanfaat, yang tidak dilakukan oleh bangsa manapun di dunia ini. Harus dikatakan bahwa “pengamanan” ini bukanlah sesuatu yang mulia, tanpa cacat dan bebas kepentingan. Jika kepentingan tersebut untuk kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia tentu saja tidak menjadi masalah, akan tetapi jika sebaliknya tentu akan merugikan bangsa Indonesia. Pendukung pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebuah aliansi masyrakat yang berkepentingan untuk menguasai pasar tembakau di Indonesia. Dua-duanya mempunyai persamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat pendukung adalah penerima dana program anti tembakau dari donor asing yang berkedudukan di New York dan yang satu adalah aliansi masayrakat yang berkepentingan dengan tembakau di Indonesia yang disokong besar-besaran oleh pabrik kretek yang sudah diakuisisi oleh perusahaan rokok terbesar di dunia asal Amerika.
Meskipun ini terdengar retoris dan membosankan, bagi kami seluruh pemangku kepentingan yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menyatakan bahwa “PENGAMANAN” yang tertuang dalam regulasi yang katanya dilandasi semangat melindungi kesahatan masyarakat dan generasi muda dari paparan asap rokok ini adalah “PENINDASAN”.